Selasa, 27 April 2010

HAM (Hak Asasi Manusia)

Hak Asasi Manusia dan Warga Negara adalah salah satu dokumen fundamental dari Revolusi Perancis, menetapkan sekumpulan hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. Diadopsi pada 26 Agustus 1789, oleh Majelis Konstituen Nasional (Assemblée nationale constituante), sebagai langkah awal untuk penulisan sebuah konstitusi. Ini menetapkan hak-hak fundamental tidak hanya bagi warga negara Perancis tetapi memperuntukan hak-hak ini untuk seluruh manusia tanpa terkecuali:

"Artikel Pertama – Manusia dilahirkan bebas dan tetap setara di dalam hak. Perbedaan sosial dapat ditemukan hanya pada keperluan umum."

Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam deklarasi menjadi nilai konstitusional dalam hukum Perancis saat ini dan mungkin digunakan untuk menentang perundang-undangan dan kegiatan pemerintah lainnya.

Deklarasi dirancang oleh Marquis de Lafayette dan telah diadopsi oleh Majelis Nasional, dimaksudkan sebagai bagian suatu transisi dari absolut menjadi monarki konstitutional. Banyak dari prinsip-prinsip tersebut meletakkan deklarasi secara langsung untuk menentang institusi dan pemakaian ancien régime pada sebelum revolusi Perancis. Pada saat dimana, Perancis akan menjadi sebuah Republik, tetapi dokumen ini tetap fundamental.

Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam deklarasi berasal dari prinsip-prinsip filosofis dan politis dari Abad Pencerahan, seperti individualisme, kontrak sosial sebagai diteorikan oleh Jean-Jacques Rousseau, dan separasi kekuasaan yang diperkenalkan oleh baron de Montesquieu. Mungkin pula didasarkan pada Deklarasi Kemerdekaan AS dan Deklarasi Hak Asasi Manusia Virginia yang dikembangkan oleh George Manson, yang juga didasarkan pada Perjanjian Hak Asasi Manusia Inggris 1689.





Masalah HAM warga Negara di Indonesia

Hak politik bagi seluruh Warga Negara Indonesia adalah suatu keniscayaan dalam tatanan Negara demokrasi yang menjujung tinggi HAM. Di dalamnya tercetus ide – ide tentang prinsip – prinsip kesamaan dan kesetaraan bagi seluruh warga Negara tanpa memandang perbedaan dari sisi apapun.

Berpuluh – puluh tahun kebebasan untuk menyuarakan kata hati dibelenggu dengan pongahnya oleh rezim orde baru, hingga tibalah saat ini dimana cahaya terang menuju kebebasan befikir,kebebasan berpendapat dan kebebasan berdemokrasi dituntut untuk dilindungi dan ditegakkan oleh Negara sebagai amanat konstitusi 1945, menuju terciptanya masyarakat yang berkeadilan, yaitu masyarakat yang adil dalam kesejahteraan, dan sejahtera dalam keadilan.

Cahaya terang menuju kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berdemokrasi adalah cita – cita dan dambaan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan yang kita rasakan pada masa orde baru memang melenakan kita akan indahnya hasil –hasil pembanguna fisik material, namun disisi lain ada aspek – aspek non material yang juga seharusnya juga dibangun oleh Negara namun malah ‘dimatikan’ dengan segala cara. Kebebasan berpendapat, kebebasan mengkritisi, kebebasan berorganisasi, hingga kebebasan berpolitiksecara luas tidak diakomodir dan dilindungi oleh Negara dan pemerintah dengan alasan akan menganggu stabilitas keamanan, stabilitas politik dan ekonomi, yang secara tidak langsung juga dianggap akan menghambat proses pembangunan. Akhirnya rakyat merasakan betapa pahitnya ketika hasrat dan gairah politik terbelenggu dalam cengkeraman kekuasaan.

Era Reformasi menjadi masa perubahan yang diharapkan mampu mengubah keadaan Negara berkaitan dengan upaya perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia. Di tahun 1999, DPR meratifikasi UHDR 1948 kedalam Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,selanjutnya MPR secara meraton mengamandemen UUD 1945 dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 sebanyak empat kali amandemen dengan memasukkan aspek – aspek Hak Asasi Manusia yang selama ini diabaikan dan tidak tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi. Indonesia yang sempat dianggap sebagai Negara yang kurang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, saat ini menjadi salah satu Negara denga agenda HAM terbesar didunia.

Di tahun 2005, Indonesia kemudian meratifikasi ICCPR 1966 ke dalam undang – undang nomor 12 tahun 2005. Berbagai kebijakkan yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya perlindungan hak asasi manusia selama era reformasi memang patut diacungi jempol, jika kita merujuk hanya kepada usaha pemerintah untuk melahirkan produk – produk hukum berkaitan dengan hak asasi manusia. Namun rapor merah atas implementasi segala kebijakkan yang tertuang dalam produk hukum yang ada sudah menanti di depan mata, jika agenda – agenda HAM yang selama ini digaungkan tidak pernah direalisasikan.
Aspek HAM yang saat ini banyak disoroti oleh publik adalah berkaitan dengan hak politik, khususnya hak pilih warga Negara dalam pemilihan umum. Banyak tuntutan masyarakat atas perubahan sistem dan pelaksanaan pemilu di era reformasi, dengan harapan Pemilu di Era Reformasi tidak seperti pemilu yang dilaksanakan di masa orde baru.Menurut Muhammad AS. Hikam, Pemilu di Era orde baru dalam wacana dan kiprah politik masih lebih diberi bobot sebagai sebuah kewajiban ketimbang hak warga Negara. Visi yang mementingkan kewajiban ketimbang hak ini sangat dipengaruhi oleh visi integralistik, hak warga Negara yang tersendiri terlepas dari Negara tidak diakui.

Dualisme antara Negara dan warga Negara sebagai individu tidak dikenal, oleh karena individu tidak lain adalah suatu bagian organik dari negar (staat), yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk menyelenggarakan kemuliaan staat.Meskipun begitu Prof. Soepomo menyatakan bahwa”Staat bukanlah suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri diluar lingkungan suatu kemerdekaan seseorang”.
Negara dianggap mengatasi segala golongan dan segala pribadi dalam visi integralistik, dimana negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. Dengan visi ini, maka masalah hak asasi warga Negara sebagai individu menjadi problematik dan tidak relevan untuk di tempatkan di dalam format partai politik yang dikembangkan darinya.

Inilah visi yang hendaknya diubah dalam format Pemilu reformasi,dimana selayaknya hak politik warga Negara diakui dan dijunjung tinggi oleh pemerintah seluruh elemen bangsa,sehingga pemilu tidak hanya menjadi permainan politik para elit, namun juga menjadi wahana kebebasan berfikir dan berpendapat dari seluruh warga negara.
Banyak kasus yang berkaitan dengan hak politik khususnya hak plih warga Negara muncul tatkala produk perundang – undangan pemilu bertentangan dengan konstitusi dan produk perundang – undangan HAM yang ada dan berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah pada saat Mahkamah Konsitusi menerima permohonan judicial review atas Undang – Undang Pemilu 2004( UU 12 tahun 2003) khusunya mengenai pembatasan menurut pasal 60 huruf g UU No. 12/2003 tentang syarat calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota, dimana pasal tersebut mewajibkan syarat calon adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau orang yang bukan terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya. Meskipun amar putusan perkara No. 011/PUU-I/2003 dan No. 017/PUU-II/2003 ini menolak permohonan judicial review dari para pemohon karena dianggap para pemohon yang bukan mantan anggota PKI dan ormas- ormasnya tidak mempunyai legal standing, namun ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari kasus ini untuk pemilu di tahun-tahun mendatang.

Pada kasus ini, Mahkamah Komstitusi merujuk ke pasal 27 ayat 1,28D ayat 1 dan 28I ayat 2 UUD 1945 mengenai larangan diskriminasi. Mahkamah Konstitusi juga menyebut pasal 1 ayat 3 UU No. 39/1999 tentang HAM dimana Pasal tersebut tidak membenarkan terhadap diskriminasi berdasar pada “perbedaan agama, suku, etnis, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik”. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menggunakan pasal 21 Universal Declaration of Human rights (UDHR) dan pasal 25 ICCPR untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi.

Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga. Meskipun begitu, bukan berarti hak asasi warga tidak dapat di batasi, karenanya berdasarkan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Pembatasan hak asasi berdasar pada ketentuan tersebut dapat dibenarkan sepanjang”… semata – mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Konsep inilah yang seharusnya menjadi parameter kita untuk mengukur sejauh mana warga Negara dapat melaksanakan hak asasinya khususnya yang berkaitan dengan hak politik. Pembatasan hak politik bagi mantan anggota PKI yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI mungkin sangat bisa kita terima sebagai satu bentuk pembatasan hak politik yang tepat yang telah dilakukan oleh Negara. Namun kasus ini hanya sebagai gambaran contoh, dengan harapan tidak akan pernah terjadi lagi diskriminasi golongan dalam hak politik bagi seluruh warga Negara pada pemilu dimasa – masa yang akan datang.

Berbagai masalah aktual lainnya misalnya berkaitan dengan boleh atau tidaknya TNI/POLRI menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, boleh tidaknya para tahanan politik dan narapidana politik menggunakan hak politiknya, hingga boleh tidaknya warga Negara yang memiliki keterbatasan fisik atau jasmani untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil rakyat,dimana masalah ini menjadi dinamika hak asasi yang muncul pasca reformasi dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak problematika baru yang akan muncul esok hari. Harapannya, pertimbangan atas konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah ketika meratifikasi suatu produk hukum internasional menjadi janji atas terlaksananya ketentuan yang ada di Republik Indonesia ini.

Kesimpulannya, perkembangan hak asasi manusia di Indonesia berjalan dengan sangat pesat ketika terlepas dari belenggu tirani selama 32 tahun. Namun pekerjaan rumah yang betambah besar juga harus ditanggung oleh Negara atas berbagai kebijakan – kebijakan HAM khususnya yang mau tidak mau mengikuti arus dunia internasional.Kita berharap Negara mampu untuk memberikan jaminan atas pengakuan dan perlindungan hak politik warga Negara guna terciptanya iklim kebebasan yang sehat dan bertanggung jawab pada diri warga Negara. Sehingga pembangunan di waktu-waktu yang akan datang benar-benar akan sempurna membangun fisik dan psikis warga Negara dengan tidak melepaskan diri dari dasar ideology dan konsitusi bangsa.

1 komentar:

  1. Hai salam kenal saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia artikel yang sangat menarik ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus