Sejak 1999 telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya setelah negara baru, Timor Leste menjadi satu negara berdaulat sehingga Laut Timor sudah bukan merupakan milik dari dua negara lagi, tapi sudah merupakan milik tiga negara yakni Indonesia, Australia dan Timor Leste.
“Konsekwensi logisnya, seluruh penetapan batas di Laut Timor yang dibuat antara Indonesia dan Australia maupun antara Australia dan Timor Leste tanpa melibatkan Indonesia adalah tidak sah dan harus ditinjau ulang dan dibatalkan. Harus dirundingkan kembali secara trilateral oleh tiga negara yang memiliki Laut Timor ini,”.
Tanoni menyatakan desakan pihaknya kepada pemerintah Indonesia, Australia, dan Timor Timur serta PBB melalui Komisi Landas Kontinen PBB segera mengagendakan batas landas kontinen di Laut Timor ini dalam sidang berikutnya.
“Desakan kami itu agar pihak-pihak yang berkepentingan dan berwenang untuk menetapkan lagi batas landas kontinen yang baru dan permanen di Laut Timor berprinsip delimitasi yang benar dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip international yang berlaku,”.
Perjanjian Indonesia-Australia pada 1972 tentang penetapan batas landas kontinen menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation) yang mengabaikan prinsip ‘garis tengah’ untuk menetapkan batas landas kontinen kedua negara.
Prinsip itu melegitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen yang berbeda dan Palung Timor merupakan representasi fisik bagian Utara dari batas landas kontinen Australia. “Prinsip itu adalah tidak benar. Dalam perjanjian tersebut diabaikan prinsip ‘garis tengah’ untuk menetapkan batas landas kontinen kedua negara,”.
Konsepsi itu, menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor, sehingga Australia bisa menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya raya akan fosil bahan bakar.
“Padahal fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja,”.
Sehubungan fakta itu, maka berdasarkan definisi landas kontinen Konvensi Jenewa 1958 Tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal laut wilayahnya.
Namun jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya antara Indonesia di wilayah Pulau Timor dan Australia maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen.
“Atas fakta dan dasar inilah maka sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia.
Pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia telah menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara.
“Akan tetapi pada kenyataannya, Australia telah menggunakan perjanjian itu secara tidak manusiawi dengan memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah sejak 450 tahun secara turun temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian,” katanya.
Padahal, dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal saja itu tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi.
Peninjauan Kembali Batas Landas Kontinen dan ZEE RI-Australia di Laut Timor
1. Perjanjian RI-Australia yang dibuat pada tahun 1972 tentang penetapan batas landas kontinen yang menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation) dengan melegitimasi argumentasi Australia bahwa “Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen yang berbeda, dan Palung Timor merupakan representasi fisik bagian Utara dari batas landas kontinen Australia”. Dimana dalam perjanjian tersebut mengabaikan prinsip “garis tengah” untuk menetapkan batas landas kontinen kedua Negara,melainkan menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor,untuk itu Australia menguasai 85 % dasar Laut Timor yang kaya raya akan fosil bahan bakar.”Padahal fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja”.
2. Sehubungan dengan fakta pada butir (1) tersebut,berdasarkan definisi landas kontinen Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang landas kontinen dan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal laut wilayahnya. Namun jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain “seperti halnya Indonesia (Pulau Timor) dan Australia”, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip “delimitasi” dan bukan “definisi landas kontinen”. Atas fakta dan dasar inilah maka sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada “garis tengah” antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia.
3. Pada tahun 1997,Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federal Australia menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua Negara.Akan tetapi, Pemerintah Federal Australia telah menggunakan perjanjian tersebut secara tidak manusiawi memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah selama kurang lebih 450 tahun secara turun temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian.Padahal,dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal saja itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa “Perjanjian Ini Harus Diratifikasi Dan Akan Mulai Berlaku Pada Tanggal Pertukaran Piagam-Piagam Ratifikasi”.
4. Sejak tahun 1999 telah terjadi sebuah perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya sebuah Negara berdaulat setengah Pulau Timor yang disebut Republik Demokratik Timor Timur (Leste) sehingga Laut Timor sudah bukan merupakan milik dari dua Negara lagi,tapi sudah merupakan milik tiga Negara yakni Indonesia-Australia dan Timor Timur.Konsekwensi logisnya adalah seluruh penetapan batas di Laut Timor yang dibuat antara Republik Indonesia dan Australia maupun antara Australia dan Timor Timur tanpa melibatkan Indonesia adalah TIDAK SAH dan haruslah ditinjau ulang dan dibatalkan kemudian dirundingkan kembali secara trilateral oleh tiga Negara yang memiliki Laut Timor ini.
5. Mendasari pada butir (1),(2),(3) dan (4) tersebut, kami mendesak Pemerintah Republik Indonesia,Pemerintah Federal Australia,Pemerintah Republik Demokratik Timor Timur (Leste) dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) agar melalui Komisi Landas Kontinen PBB segera mengagendakan permasalahan batas landas kontinen di Laut Timor ini dalam sidang berikutnya untuk menetapkan kembali batas landas kontinen di Laut Timor dengan menggunakan prinsip delimitasi yang benar dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip International yang berlaku.
Indonesia dan Australia belum memiliki batas ZEE
Meski sudah hidup bertetangga selama puluhan tahun namun Indonesia dan Australia ternyata belum memiliki garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang sah. Yang ada hanyalah Zona Perikanan Australia dan ZEE di Laut Timor yang ditetapkan secara sepihak oleh Australia.
Seperti diketahui, Australia secara sepihak menetapkan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor dan Arafura berdasarkan perjanjian RI-Australia 1997. Australia bahkan dengan berani mengklaim Gugusan Pulau Pasir sebagai Cagar Alam milik Australia. Hal ini tentu saja ditolak rakyat Pulau Timor. Pasalnya selama ratusan tahun, sejak bangsa Australia belum ada, mereka sudah menjelajah dan mencari ikan di seputar Gugusan Pulau Pasir.
Sampai kemudian muncul pengakuan terbaru Australia bahwa masalah batas laut ini sebenarnya masih dalam tahap negosiasi antara kedua pihak. Hal ini diakui langsung oleh Dubes Australia untuk Indonesia Bill Farmer dalam kunjungannya ke Kupang.
Mantan agen imigrasi Australia ini menolak penilaian Bill Farmer bahwa kondisi ini baik bagi Indonesia. Ia bilang kondisi ini akan menguntungkan kedua pihak tanpa ada satupun yang dirugikan. Karena itu, sangat dini jika dikatakan Australia diskriminatif dalam penetapan batas di Laut Timor. Pernyataan Bill Farmer ini sangat membingungkan.
Namun, kata Tanoni, hal ini sekaligus mengklarifikasi bahwa soal batas maritim RI-Australia di Laut Timor hingga saat ini masih bermasalah dan belum tuntas. Padahal selama ini baik Kedutaan Besar Australia, Departemen Luar Negeri dan Departemen Kelautan RI selalu mengatakan bahwa seluruh batas maritim di Laut Timor sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Senin, 10 Mei 2010
Sabtu, 01 Mei 2010
Konstitusi
Konstitusi berasal dari kata constitution (Bhs. Inggris) – constitutie (Bhs. Belanda) – constituer (Bhs. Perancis), yang berarti membentuk, menyusun, menyatakan. Dalam bahasa Indonesia, konstitusi diterjemahkan atau disamakan artinya dengan UUD. Konstitusi menurut makna katanya berarti dasar susunan suatu badan politik yang disebut negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan untuk membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, dan ada yang tidak tertulis berupa konvensi.
Dalam perkembangannya, istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Dalam pengertian luas (dikemukakan oleh Bolingbroke), konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar. Seperti halnya hukum pada umumnya, hukum dasar tidak selalu merupakan dokumen tertulis atau tidak tertulis atau dapat pula campuran dari dua unsur tersebut.
2. Dalam arti sempit (dikemukakan oleh Lord Bryce), konstitusi berarti piagam dasar atau UUD, yaitu suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Contohnya adalah UUD 1945.
Sesungguhnya pengertian konstitusi berbeda dengan Undang Undang Dasar, hal tersebut dapat dikaji dari pendapat L.J. Apeldorn dan Herman Heller. Menurut Apeldorn, konstitusi tidaklah sama dengan UUD. Undang-Undang Dasar hanyalah sebatas hukum yang tertulis, sedangkan konstitusi di samping memuat hukum dasar yang tertulis juga mencakup hukum dasar yang tidak tertulis. Adapun menurut Herman Heller, konstitusi mencakup tiga pengertian, yaitu:
1. Die politische verfassung als gesselchaffliche wirklichkeit, yaitu konstitusi yang mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kewajiban.
2. Die verselbstandigte rechtverfassung, yaitu mencari unsur-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat tersebut untuk dihadirkan sebagai suatu kaidah hukum.
3. Die geschriebene verfassung, yaitu menuliskan konstitusi dalam suatu naskah sebagai peraturan perundangan yang tertinggi derajatnya dan berlaku dalam suatu negara.
Konstitusi sebagai hukum dasar berisi aturan-aturan dasar atau pokok-pokok penyelenggaraan negara. Aturan-aturan itu masih bersifat umum. Aturan pokoknya perlu dijabarkan lebih lanjut dalam norma hukum di bawahnya, seperti:
• Ketetapan MPR,
• Undang-Undang,
• Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang),
• Peraturan Pemerintah,
• Keputusan Presiden,
• Peraturan Daerah.
1. Periode Berlakunya UUD 1945 [ 18 Agust 1945-27 Desember 1949 ]
Penyimpangan Konstutional dalam kurun waktu ini, antara lain sebagai berikut:
a. Komite Nasional Indonesia Pusat berubah fungsi dari pembantu pemerintah menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara berdasarkan maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Seharusnya tugas-tugas itu dikerjakan oleh DPR dan MPR.
b. Sistem cabinet presidensial berubah menjadi cabinet parlementer berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat [ BP-KNIP] pada tanggal 11 November 1945 kemudian disetujui oleh presiden.
2. Periode berlakunya Konstitusi RIS [ 27 Desember 1949-17 Agustus 1950]
Penyimpangan konstusional dalam kurun waktu ini, antara lain sebagai berikut:
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Federasi Republik Indonesia Serikat [ RIS ]. Perubahan tersebut berdasarkan pada Konstitusi RIS.
b. Kekuasaan legislative yang seharusnya dilaksanakan presiden dan DPR dilaksanakan DPR dan Senat.
3. Periode Berlakunya UUDS 1950 [ 17 agustus 1950-5 Juli 1959 ]
Akibat dari perubahan yang berbeda dengan UUD 1945 adalah tidak tercapainya stabilitas politik dan pemerintahan yang akibatnya sering bergantinya cabinet.
4. Periode Berlakunya kembali UUd 1945 [ 5 Juli 1959-19 Oktober 1999 ]
Indonesia berhasih mengadakan pemilu untuk memilih anggota DPR pada tahun 1955. Tugasnya adalah untuk membuat rancangan Undang-undang untuk mengganti UUDS 1950.
Pada tanggal 10 November 1956, Konstituante bersidang di Bandung. Namun sudah lebih dari 2 tahun tidak ada hasilnya.
Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekret Presiden yang isinya, antara lain berlakunya kembali UUD 1945.
a. Pemerintahan Orde Lama
1. Presiden telah mengeluarkan produk legislative yang pada hakikatnya adalah undang-undang dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR.
2. MPRS dengan ketetapan No. I/MPRS/1960 telah mengambil keputusan menetapkan pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
3. Konsepsi Pancasila berubah menjadi Konsepsi Nasakom.
4. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, dan membentuk DPRGR
5. Presiden membentuk MPRS, dan seluruh anggota MPRS diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
6. Presiden diangkat seumur hidup melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
b. Pemerintahan Orde Baru
1. Penyelenggaraan Negara yang bersifat otoriter
2. Presiden menjabat selama 32 tahun sehingga tidak sesuai dengan semangat demokrasi.
Langganan:
Postingan (Atom)